Konsep information governance atau tata kelola informasi menjadi terlihat “baru” karena perubahan-perubahan yang disebabkan oleh penggunaan teknologi masa-kini, khususnya teknologi berbasis komputer atau teknologi digital. Pemahaman prinsipil tentang information governance awalnya diletakkan dalam konteks yang lebih luas yakni governance (tata kelola) yang mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat.
Dengan kata lain, dalam konsep governance
terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law,
participation dan kemitraan. Jika kita menganggap bahwa masyarakat masa
kini adalah “masyarakat informasi” maka sebenarnya secara langsung kita
mengandaikan bahwa kegiatan mencari, mengumpulkan, dan menggunakan
informasi sudah menjadi kegiatan utama di dalam masyarakat itu.
Pada masyarakat saat ini, kompetensi
informasi menjadi bekal hidup utama. Seseorang dapat berfungsi dan
bertindak secara memadai di masyarakatnya jika dia punya kemampuan
(ability), keterampilan (skill), dan kompetensi (competence) informasi.
Semisal dalam keseharian yang dapat dirasakan oleh publik di wilayah
urban, yaitu ketersediaan informasi publik.
Lembaga dokumenter sekaligus menjadi lembaga
publik seperti perpustakaan, pusat rekod, depo arsip, pusat
dokumentasi, museum dan sebagainya, adalah lembaga yang memungkinkan
adanya ketersediaan informasi serta konektivitas yang bertujuan untuk
diseminasi pengetahuan bersama.
Jika sebuah masyarakat mengalami kerepotan
dalam menangani persoalan informasi di dalam kehidupan mereka, maka
masyarakat itu memerlukan bantuan orang-orang profesional, yaitu para
pekerja informasi (information professionals) yang memiliki kompetensi
tertentu.
Tak kalah penting, kompetensi tersebut berkaitan dengan efisiensi dan
efektifitas bekerja. Serta berdasarkan kesepakatan, artinya, kompetensi
merupakan urusan kedua belah pihak: yaitu si pekerja/pemberi jasa maupun
orang lain yang menggunakan hasil kerjanya. Kemudian ada unsur unik
karena kompetensi pekerja informasi tidak dapat disamakan dengan
kompetensi orang pada umumnya. Kompetensi yang unik tersebut pada
dasarnya digunakan untuk melayani kepentingan masyarakat, sebagai bagian
dari sebuah institusi jasa (services).
Pun sebagai bagian dari sebuah institusi,
maka kompetensi para professional informasi seperti pustakawan, manajer
rekod, arsiparis, kurator, manajer pengetahuan, pejabat pengelola
informasi dan dokumentasi (PPID) dan sebagainya dapat dilihat sebagai
bagian dari kerja, karena itu kompetensi pustakawan juga mengandung
unsur profesionalisme.
Maka, kini kita di Indonesia dapat memahami
information governance sebagai bagian dari reformasi sektor publik dan
pelibatan jaringan pembuatan kebijakan yang lebih luas. Walaupun pada
umumnya kita mengenal information governance dalam pengertian spesifik
dan teknis.
Di sisi lain, ada beberapa aspek fundamental yang masih perlu kita
pahami terkait peran lembaga dokumenter sekaligus lembaga publik di
Indonesia saat ini; seperti perpustakaan, pusat rekod, depo arsip, pusat
dokumentasi, museum dan sebagainya. Peran antar lembaga dapat dilihat
sebagai kesatuan yang tak terpisahkan, khususnya dalam konteks
pembangunan bangsa dan ditilik dari segi konektivitas lembaga,
keterbukaan Informasi publik dan diseminasi pengetahuan serta
information governance.
Diperlukan berbagai pendekatan untuk
memahami beberapa peran itu, khususnya untuk memfokuskan perhatian kita
kepada tradisi pustaka dan profesi pustakawan. Karena kesimpulan
sementara ini, persoalan inti dalam kompetensi dan profesionalisme akan
amat berperan dalam proses transfomasi dan reformasi yang menjadi
penggerak utama dari penerapan information governance.
Persoalan inilah yang harus mendapat
perhatian penuh dunia kepustakawanan Indonesia saat ini. Dengan kata
lain, kompetensi dan profesionalisme pustakawan sebenarnya berada di
titik sentral dari paradigma governance.